RSS

Kisah Penantian Seorang Pecinta (Cerpen)



Penantian Seorang Penonton
By: Mt Aryati Se

Siang hari Aku mengunjungi sebuah Resto di Batavia, dengan segenap harapan langkah kakiku mengayun, mataku bersemangat menemukan papan nama Resto, dari kayu bercat biru dengan ejaan Belanda. Papan itu pertanda Aku sampai di Resto yang Aku tuju, Aku berhenti di bawah pohon mahoni disamping Resto. Dari tempatku berdiri Aku dapat melihat suasana didalam Resto melalui kaca besar pemisah ruang dalam Resto dengan trotoar jalanan. Seorang Gadis Jawa dengan gaun belanda duduk di deretan kursi ketiga didalamnya. Gaun yang panjang berwarna biru muda dengan aksen bunga-bunga putih, dihiasi renda putih melingkar di pinggulnya, gaun berlengan panjang menyembunyikan tubuhnya yang kecil sehingga tampah sedikit berisi. Ia mempesona. Gadis itu akan meletakkan tas di samping kiri bagaian meja, aku tahu itu. Hal ini bukan pertama kalinya Aku melihat Ia duduk didalam Resto, Akupun dapat menebak tingkah lakunnya. Hal yang akan Ia lakukan setelah duduk dengan anggun Ia pasti membuka tas jinjing kulit yang Ia bawa, kemudian akan mengambil sebuah buku dari dalamnya, Ia meletakan buku di atas meja dan gadis itu akan mengusap-usap dengan jari telunjuk kanan bagian sampul sebelum membaca bukunya.
Entah mengapa, menguntit gadis ini menjadi kegemaranku beberapa waktu belakangan ini, ada decak kagum melihat pribumi yang biasanya menjadi kelompok rendahan namun tidak berlaku bagi Gadis jawaku. Ia nampak memiliki kelas yang tinggi yang sedemikian rupa, nalarku Ia dijadikan gundik Seorang Tuan Belanda sehingga Gadis Jawa itu diperlakukan istimewa ditengah kehancuran bangsanya. Aku tak akan mempermasalahkannya jika benar Ia milik Seorang Tuan Belanda, meskipun sudah barang tentu nyawaku akan melayang jika ketahuan Sang Tuan mencintai gundiknya, namun masih ada harapan bagiku, setidaknya sampai saat ini, ketika Aku buntuti, gadis itu tak pernah terlihat bersama seorang laki-laki satupun apalagi Seorang Tuan Belanda.
Kopi untuk nona disana telah diantar oleh pelayan, Ia tersenyum ramah menampakan giginya yang tersusun rapi, putih nan bersih, kepada pelayan.  Ia merogoh saku gaunnya untuk mengambil beberapa koin yang biasa Ia berikan untuk tips bagi Si Pelayan. Si Pelayan berlalu, Ia angkat kopi dari mejannya, meniup beberapa kali hingga uap menyembul ke atas, kemudian perlahan meminumnya.
Sudah kubulatkan tekad, kali ini Aku beranikan untuk masuk kedalam Resto, membuang sikap bak anjing yang hanya berani mengikuti tuannya dari belakang.  Aku berbekal uang tabungan sebulanku untuk sekedar memesan kopi dan berkenalan didalam Resto. Kurapikan setellan jasku dari bawah keatas dan kupastikan lagi kerapiannya dari atas kebawah, setelah kurasa pantas untuk bersanding duduk dengan Gadis Jawa itu, meski sekedar untuk minum kopi bersama. Bagai gayung tak bersambut, Aku melihatnya dari kaca besar pemisah kami selama ini. Gadisku... Gadis Jawaku telah dikerumuni oleh tiga belanda muda membawa seikat bunga masing-masing. Pemandangan didalam bagai pisau menikam tepat dijantungku, mana sanggup Aku melangkahkan kaki kedalam untuk melanjutkan tekadku. Tekad untuk bersanding duduk meminum kopi bersama Gadis Jawaku. Mana pantas aku bersaing dengan mereka bertiga para Belanda Muda, sedang aku pribumi berbekal uang tabungan yang hanya mampu memesan secangkir kopi didalam Resto.
Aku amati seorang dari mereka duduk di kursi depan gadis itu, dengan khikmat dan membawa seikat mawar merah, nampaknya Ia paling terpelajar dari ketigannya. Rambutnya pirang belah pinggir, kumis tipis, kulitnya tulen Belanda dengan setellan berwarna hitam dengan scraf gold dililitkan pada kerah bajunya. Belanda yang kedua memakai topi hitam, berjas hitam pula tanpa dasi dan scraf. Warna rambutnya hitam namun kulitnya putih, mungkin Ia peranakan Belanda dan Indonesia. Ia menarik kursi dan duduk didekat Gadis Jawa itu, dengan membawa bunga Lili putih berpita ungu. Belanda ketiga berdiri disamping gadis itu, belanda ketiga berkemeja putih panjang, dengan lengan dilipat hingga bawah siku, celananya coklat susu, tigginnya mungkin 180 centimeter kira-kira satu jengkal lebih tinggi dibanding Aku, Ia membawakan gadis itu bunga langka di Indonesia, seikat tulip orange. Aku mundur beberapa langkah, aku lemas dan menyandar pada batang pohon mahoni.
Gadisku, Gadis Jawaku. Ia semakin jauh dariku, tak hanya kaca yang memisahkan kami, tapi juga tuan-tuan muda yang ada disana. Di dalam Resto ia tak juga menerima satupun uluran bunga-bunga indah dari Belanda-belanda muda, entah kemudian apa yang dibicarakan mereka didalam sana, yang nampak hanya wajah-wajah serius menyudutkan Gadisku. Raut muka gadis jawaku yang ramah berubah masam, ia menarik nafas panjang dan melontarkan pandangan keluar jendela, tatapan matanya menangkapku bersandar dipohon, pandangan kami beradu, seketika aku arahkan penglihatanku ke jalanan. Aku menolak memandangnya, sungguh bukankah seharusnya ini menjadi hal yang bahagia ketika tak hanya aku yang menatapnya, tapi kami saling bertemu pandang. Aku masih melihat jalanan, kemudian sedikit demi sedikit aku melirik kedalam Resto, tempat dimana Ia duduk tadi.
Pecundang, aku memang pecundang. Ia sudah tak ada di bangkunya, hanya tiga belanda muda membawa bunga yang masih disana. Kakiku merasa lemas, tak mampu menopang tubuh ini, aku terduduk disamping pohon mahoni. Lengkap sudah dukaku, karena tak sempat bersanding minum kopi dan sekedar menanyakan namannya.
Setelah perselisihan itu, gadis jawaku tak pernah datang kembali, jalan-jalan yang aku susuri saat menguntitnya tak pernah sama lagi, ia benar-benar menghilang. Kepergian gadis itu rupannya tak menjadi kesedihanku seorang, setidaknya setiap tahun ditanggal yang sama dari kejadian itu, ketiga belanda yang kini menuwa, selalu datang ke Resto dengan ikatan bunga segar dan setellan yang sama. Akupun datang, meski tak pernah didalam Resto, tak pernah membawa ikatan bunga, dan tak pernah tahu nama gadis jawaku.

***TAMAT***




Cerpen by “mt aryati se”

0 komentar:

Posting Komentar